Konawe Utara, Suaratenggara.com – Polemik mengenai adanya dokumen terbang terus berhembus ke permukaan publik.
Pasalnya, hal tersebut disinyalir telah menjadi kebiasaan di sektor pertambangan di Konawe Utara hingga saat ini.
Salah satu perusahaan pertambangan yang kerap dikaitkan dengan penggunaan dokumen terbang atau lebih tepatnya memfasilitasi dokumen kepada penambang ilegal untuk melakukan penjualan nikel yakni PT. Kabaena Kromit Pratama (PT. KKP).
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (Ampuh) Sulawesi Tenggara (Sultra) Hendro Nilopo.
Menurutnya, PT. KKP selama ini dikenal sebagai fasilitator dokumen untuk perusahaan tambang yang tidak memiliki dokumen untuk melakukan penjualan (penambang ilegal).
“Jadi persoalan dugaan pemalsuan dokumen PT. KKP ini bukan lagi rahasia, apalagi disaat 11 IUP swasta masih aktif”. Katanya melalui siaran persnya pada, Senin (2/5/22).
Hendro menjelaskan, selama PT. Antam dan 11 IUP swasta berpolemik, wilayah pertambangan di Blok Mandiodo telah diputihkan oleh pemerintah, Sehingga menurutnya, tidak satupun perusahaan dari 11 IUP yang tumpang tindih dengan wiup PT. Antam yang bisa melakukan penjualan.
“Dari segi aturan memang mereka nda bisa menjual, karena dokumen penjualan mereka saat itu di bekukan. Nah untuk melakukan penjualan 11 IUP swasta ini harus menggunakan dokumen perusahaan lain”. Terangnya
“Sehingga disitulah peran dari PT. KKP, kami duga kuat memfasilitasi dokumen untuk penjualan bagi para penambang yang tidak punya dokumen itu. Sedangkan untuk menggunakan dokumen PT. KKP perusaan harus membayarkan royalti sesuai dengan permintaan dari PT. KKP”. Jelasnya
Namun ironisnya, kata Hendro, dugaan kejahatan berupa pemalsuan dokumen itu sampai hari ini masih terus dilakukan tanpa ada proses hukum.
Bahkan, lanjutnya, baru-baru ini PT. KKP justru mendapat kuota produksi sebesar 1.200.000 wmt dari Kementerian ESDM RI.
Hal itu kata Hendro, sangat janggal, sebab menurutnya willayah IUP PT. KKP sendiri hanya memiliki luas wilayah 102,60 hektar dan telah dikelola sejak tahun 2010 atau kurang lebih 12 tahun lamanya.
“Luasan IUPnya hanya 102,60 Hektar dan sudah dikelola sejak tahun 2010 lalu atau kurang lebih sudah 12 Tahun berjalan namun masih dikasih kuota produksi sampai 1.200.000 wmt. Ini tidak masuk akal menurut kami”. Tegasnya
Oleh sebab itu, Hendro Nilopo secara kelembagaan, akan turun melakukan aksi protes dan meminta kepadan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menyelidiki dokumen permohonan RKAB PT. KKP yang diduga syarat pemalsuan.
“Ini wajib dibuka, laporan penjualan PT. KKP selama periode tahun 2021 misalnya, berapa banyak penjualannya kemudian dikorelasikan dengan laporan kegiatan di lokasi. Karena setau kami PT. KKP ini hampir nda pernah nambang tetapi penjualan lancar”. Tutupnya(TIM)